Minggu, 24 Januari 2010

Berbagi ruang dengan PKL

Alun-alun utara sekarang banyak penjualnya mas, beda dengan dulu, malah banyakan penjualnya dari pada pembeli. Tapi syukur Tuhan adil, walau banyak semua masih kebagian rejekinya. Teman-teman seumur saya yang jualan disini juga sudah tidak ada lagi, udah pada mati.

Bu Bandi adalah pedagang terlama di alun-alun utara, sudah 60an tahun yang lalu dia telah berjualan yang bermula dari orang tuanya. Warung kecilnya di depan pojok gedung sono budoyo merupakan warung makan sendiri diantara kios-kios pedagang kelontong. Dia juga mempunyai anak yang juga membuka kios kelontong disebelah warungnya, dan bila diamati kedua warung tersebut masihlah satu kios karena sekatnya memiliki lubang yang bisa diakses keluar masuk kios makan dan kelontong. memang untuk wanita berumur 80an tahun dan mengelola kios makan mungkin sangat sulit karena tubuh rentan itu terlihat butuh istirahat bukan bekerja.
Alun-alun utara sebagai ruang sakral juga dimanfaatkan untuk ruang kepentingan-kepentingan yang lainnya. Dahulu, kesakralan alun-alun utara sangat dijaga oleh pihak keraton dan para penduduk setempat. Tapi Kini bisa dilihat bahwa ruang kesakralan tidaklah bisa egois lagi, dia harus berbagi dengan kepentingan-kepentingan yang ikut memanfaatkan ruang alun-alun utara.PKL adalah yang memanfatkan alun-alun utara sebagai ruang untuk mencari nafkah, seniman menempatkan altar sebagi media apresiasi seni, pemerintah menempatkan altar sebagai ruang pariwisata,keraton menempatkan alun-alun sebagai ruang kegiatan upacara adat, dan banyak lagi lainnya.
Ruang sangat penting dalam peradaban dan perkembangan manusia, tanpa ruang manusia tidak akan bisa apa-apa. Ruang adalah sumber apresiasi segala pemikiran dan daya usaha. Kita semua butuh ruang untuk bergerak dan berdinamika. Saat kita memiliki ruang yang nyaman untuk berekspresi kemudian diganggu oleh pihak lain otomatis kita tidak nyman lagi, bahkan bisa marah.Itulah pentingnnya sebuah ruang, tempat untuk bertingkah laku dan berekspresi daya usaha. Dan bagaimana reaksi awal saat kita melihat sebuah ruang yang tidak teratur dan tidak terjaga, mungkin dibenak kita adalah orang didalamnyalah yang salah karena tidak bisa menjaga dan memeliharanya.
Saat pertama kali memasuki alun-alun utara yang pertama muncul dibenakku adalah sebuah situs peninggalan yang bisa dikatakan berupa taman tetapi tidaklah terawat, banyak PKL yang semerawut dan sampah dimana-mana. Kondisi dalam alun-alun sendiri kurang terawat, pasir atau rumput sama-sama terabaikan, belum lagi banyak sampah, digunakan untuk parkir bus, dan juga untuk berdagang. Saat aku ingin menikmati berjalan mengelilingi altar dibawah rindangnya pohon beringin juga tidak bisa, karena ruang pejalan kaki telah dipenuhi oleh gerobak-gerobak PKL. Hmm..sungguh tidak nyaman.
Sambil bersantai dan membeli minum akau menanyakan kepada PKL mengapa mereka berjualan mengguanakan ruas jalan pejalan kaki, ternyata hal itu karena didirikannya pagar-pagar. Dahulu mereka jualan di bawah pohon-pohon beringin, sehingga sisa ruas jalan untuk pejalan kaki masih banyak, tetapi setelah didirikannya pagar-pagar gedung itu mereka harus memajukan jualan mereka dan dengan jumlah pedagang yang makin banyak, tertutup sudah semua ruas jalan untuk pejalan kaki ini. Oh, ternyata karena itu.
Dilain hari saat melewati altar terlihat banyak kios yang tutup entah kenapa, saat melihat dari ujung sebuah kios aku baru tahu ternyata kioas-kioas itu sejajar dan dibangun rapi. Tetapi saat dibuka keadaan sangat berbeda karena mereka juga menambah meja tambahan di depan kios. Aku membayangakn bila saat mereka buka dan tidak ada meja tambahan, maka masih ada space untuk pejalan kaki dan akan terlihat lebih rapi.
Disisi lain, PKL juga mengaku membutuhkan sebuah penataan dan pengorganisiran secara serius oleh pemerintah, mereka sadar betul akan posisi mereka yang seringkali membuat semerawut dan kotor serta mengurangi nilai kesakralan altar. Tapi masyarakat juga pastilah tahu bahwa PKL adalah manusia yang butuh uang untuk keseharian sehingga keberadaan mereka tidaklah selalu dianggap salah. Apalagi mereka cukup mandiri dalam mengelola ekonominya tanpa perlu bantuan pemerintah. Mungkin sudah seharusnya penataan ruang yang diisi oleh banyak kepentingan di dalam altar dan sekitarnya perlu penataan ulang sehingga tidak ada ruang nyaman yang dinganggu.

ilham