Minggu, 15 November 2009
Alun-alun Utara Art Project
"Ide yang sederhana bila digarap dengan konsep dan tujuan yang matang, maka akan tercipta dobrakan realitas baru dalam sejarah kehidupan."eL.P.B.
Merespon pedagang kaki lima menjadi sebuah karya seni visual.Hal tersebut mungkin hanyalah isu kecil atau permasalahan kecil dalam fenomena sejarah berkesenian. Akan tetapi dalam mengisi atau meramaikan Biennale Jogja tahun 2009 ini teman-teman komunitas seni yang tergabung dalam "Alun-alun Utara Art Project" berusaha menggarap isu kecil ini menjadi karya yang bisa dibincangkan dan didiskusikan atau setidaknya menjadi obrolan baru di warung kopi bagi para penggiat seni.
Bukan hal yang membingungkan lagi apabila kita berbicara tentang pedagang kaki lima. Tentunya semua masyarakat faham dan tahu siapa, dan apa pedagang kaki lima (PKL) tersebut. Hanya saja kami mengangkat PKL sebagai objek dari karya kami karena PKL adalah kelompok-kelompok orang yang sangat dekat dengan kita. Komplek Kraton Jogja yang berada di sisi utara dan selatan alun-alun utara Jogja apabila kita amati, banyak sekali orang yang mencari mata pencaharian di sekitarnya dengan berdagang.
Mereka adalah orang-orang oportunis yang berusaha memanfaatkan objek wisata kraton sebagai tempat pencaharian. Ada yang menetap ada pula yang berpindah-pindah. Ada juga satu kompleks berderet adalah satu keturunan genetik. Kami sering menyebutnya dengan 'pedagang sebuyut'. Mereka tumbuh dengan aset yang kecil hingga mampu mendirikan tiang-tiang warung di pinggir alun-alun utara. Ada yang ilegal ada pula yang legal. Mereka mencipta budaya dengan aturan-aturan mereka. Mencipta sebuah sistem pemerintahan yang tidak ditulis tetapi harus dijaga. Mereka mencoba menjaga dunia kecil mereka untuk menjaga kehidupan.
Retorika di atas kemudian coba kita amati satu persatu sehingga muncul tiga isu yang akan kita garap dalam project ini. Pertama adalah isu tentang warung tumbuh. Isu pertama ini coba kami cetuskan untuk mengungkap aset-aset atau sejarah munculnya warung-warung pedagang kaki lima. Kami yakin bahwa aset-aset yang sekarang berwujud warung ini berasal dari dari aset-aset kecil yang kemudian berkembang menjadi besar. Isu yang kedua adalah lokalisasi dan relokasi, maksudnya kami mencoba identifikasi antara PKL ilegal dan yang legal. Mencoba memperbincangkan antara aturan pemerintah dan juga atauran yang berada di limgkungan PKL tersebut. Isu yang ketiga adalah seni sebagai ruang promosi bagi pedagang kaki lima.
Dengan isu-isu tersebut kami berharap bisa memberikan out put yang lebih nilainya bagi teman-teman yang tergabung dalam project ini. Kaki ingin mengembalikan lagi bahwa seniman-seniman yang anti akan kehidupan sosial dan mementingkan atau menganggungkan pada sebuah nilai estetik bisa mengembalikan diri menjadi seni sebagai kritik sosial atau mencipta pesan sosial secara simbolik, menggelitik dan estetik. Semoga project kami bisa menjadi perbincangan yang lebih lama dan lebih jauh.
Merespon pedagang kaki lima menjadi sebuah karya seni visual.Hal tersebut mungkin hanyalah isu kecil atau permasalahan kecil dalam fenomena sejarah berkesenian. Akan tetapi dalam mengisi atau meramaikan Biennale Jogja tahun 2009 ini teman-teman komunitas seni yang tergabung dalam "Alun-alun Utara Art Project" berusaha menggarap isu kecil ini menjadi karya yang bisa dibincangkan dan didiskusikan atau setidaknya menjadi obrolan baru di warung kopi bagi para penggiat seni.
Bukan hal yang membingungkan lagi apabila kita berbicara tentang pedagang kaki lima. Tentunya semua masyarakat faham dan tahu siapa, dan apa pedagang kaki lima (PKL) tersebut. Hanya saja kami mengangkat PKL sebagai objek dari karya kami karena PKL adalah kelompok-kelompok orang yang sangat dekat dengan kita. Komplek Kraton Jogja yang berada di sisi utara dan selatan alun-alun utara Jogja apabila kita amati, banyak sekali orang yang mencari mata pencaharian di sekitarnya dengan berdagang.
Mereka adalah orang-orang oportunis yang berusaha memanfaatkan objek wisata kraton sebagai tempat pencaharian. Ada yang menetap ada pula yang berpindah-pindah. Ada juga satu kompleks berderet adalah satu keturunan genetik. Kami sering menyebutnya dengan 'pedagang sebuyut'. Mereka tumbuh dengan aset yang kecil hingga mampu mendirikan tiang-tiang warung di pinggir alun-alun utara. Ada yang ilegal ada pula yang legal. Mereka mencipta budaya dengan aturan-aturan mereka. Mencipta sebuah sistem pemerintahan yang tidak ditulis tetapi harus dijaga. Mereka mencoba menjaga dunia kecil mereka untuk menjaga kehidupan.
Retorika di atas kemudian coba kita amati satu persatu sehingga muncul tiga isu yang akan kita garap dalam project ini. Pertama adalah isu tentang warung tumbuh. Isu pertama ini coba kami cetuskan untuk mengungkap aset-aset atau sejarah munculnya warung-warung pedagang kaki lima. Kami yakin bahwa aset-aset yang sekarang berwujud warung ini berasal dari dari aset-aset kecil yang kemudian berkembang menjadi besar. Isu yang kedua adalah lokalisasi dan relokasi, maksudnya kami mencoba identifikasi antara PKL ilegal dan yang legal. Mencoba memperbincangkan antara aturan pemerintah dan juga atauran yang berada di limgkungan PKL tersebut. Isu yang ketiga adalah seni sebagai ruang promosi bagi pedagang kaki lima.
Dengan isu-isu tersebut kami berharap bisa memberikan out put yang lebih nilainya bagi teman-teman yang tergabung dalam project ini. Kaki ingin mengembalikan lagi bahwa seniman-seniman yang anti akan kehidupan sosial dan mementingkan atau menganggungkan pada sebuah nilai estetik bisa mengembalikan diri menjadi seni sebagai kritik sosial atau mencipta pesan sosial secara simbolik, menggelitik dan estetik. Semoga project kami bisa menjadi perbincangan yang lebih lama dan lebih jauh.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
halo
BalasHapusSekretariatnya dimana nih?
BalasHapusjika tidak salah output besar perhelatan biennale X Jogja 2009 adalah senirupa.
BalasHapusjika membaca konsep teman-teman yang tergabung dalam proyek seni kaki lima alun alaun utara, mungkin akan lebih baik jika nilai yang ingin di dibangun tidak hanya seni sebagai media promo saja namun lebih ke pengkayaan yang lain.
dan bukankah media seni yang digunakan teman teman juga beragam? bukankah itu akan lebih ga-har jika di manage sesuai kontektual kasus yang di tangkap di lapangan?
kami tunggu perkembangannya....
BalasHapus