Senin, 23 November 2009

Pedagang Kaki Lima

“Antara pola pikir politik dan budaya, mempertaruhkan makna sebuah tanda.”eL P.B.
Pedagang kaki lima (PKL) di daerah Jogja merupakan sebuah istilah untuk orang-orang yang berdagang di pinggir jalan atau tempat-tempat wisata seperti Alun-alun utara, Alun-alun selatan, Malioboro dsb. Sifatnya bisa menetap maupun tidak. Hanya saja yang menjadi pertanyaan adalah apakah istilah itu muncul akibat singgungan dengan kepentingan pemerintah Jogja sebagai pengatur kebijakan tata kota sehingga perlu untuk memberi bentuk klasifikasi terhadap kegiatan perdagangan itu atau istilah itu muncul sebagai produk kebudayaan masyarakat Jogja atau sebut saja PKL merupakan culture dagang yang diciptakan kaum pribumi di Jogja? Dua hal ini yang akan menghantarkan kita ke dalam dua pola pikir antara perda atau alat politik dengan culture process atau proses budaya di Jogja.
Seandainya, kita melihat dengan kacamata bahwa PKL muncul akibat singgungan dengan perda atau alat politik artinya akan muncul asumsi:
1. Sebelum adanya istilah PKL sudah ada kegiatan perdagangan semacam PKL yang notabene mengganggu kenyamanan dan instabilitas kota Jogja.
2. Pemberian istilah PKL adalah bentuk untuk mengatur pedagang-pedagang tersebut menjadi satu koloni yang bisa teridentifikasi dan terklasifikasikan sehingga mudah untuk dikoordinasi.
3. Akan memunculkan asumsi bahwa munculnya PKL itu adalah gejala yang kurang baik dalam masyarakat kota Jogja.

Lain halnya apabila kita menganggap bahwa munculnya istilah PKL adalah sebagai suatu produk budaya dari masyarakat Jogja. Hal ini akan memunculkan asumsi bahwa:
1. Sebelum adanya istilah PKL sudah ada bentuk kegiatan perdagangan dan bentuk kegiatan perdagangan ini adalah respon dari sifat opportunity kaum pribumi terhadap pergolakan masa di Jogja mulai sempat sebagai ibukota NKRI hingga sebagai kota centralisasi pendidikan dan budaya, serta terhadap kebijakan Sultan dengan dibangunnya tempat-tempat yang berfungsi untuk mengumpulkan orang dalam skala besar dan berfungsi sebagai pusat pariwisata(dalam decade saat ini) atau efek dari poros utara selatan.
2. Respon dari orang pribumi ini bersifat kondisional dan dipengaruhi oleh masa atau zaman , singgungan dengan pola pikir modernitas, dan kebutuhan masyarakat.
3. Munculnya respon atau pola pikir dagang ini secara tidak sengaja telah menciptakan culture dagang tersendiri bagi kaum pribumi yang nota bene mampu mendukung ekonomi kerakyatan di wilayah kota Jogja.
4. Endingnya munculnya PKL bukanlah sebuah gejala yang kurang baik dalam masyarakat akan tetapi munculnya PKL adalah sebuah proses budaya yang dijalankan dan dikembangkan oleh orang-orang pribumi demi keberlangsungan hidupnya.

Dua paradigma di ataslah yang akan menentukan konsep tanda dari istilah PKL . Konsep inilah yang kemudian akan menjadi ideologi masyarakat dan apabila ideology ini terpelihara atau diyakini maka akan menjadi mitos. Apakah mitos ini akan berpihak pada rakyat pribumi atau kemudian mitos itu akan berdampingan dengan pola pikir pemerintah kota Jogja?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari kita pererat tali diskusi