Jumat, 04 Desember 2009

KORBAN

“Waktu itu saya duduk di sebuah perpustakaan.“Saya pikir justru yang jadi korban itu masyarakat seperti kita ini, Mas. Bukan mereka yang jadi PKL.”kata seorang Budayawan. Aku terus memikirkannya.”eL P.B.

Korban. Kata itu menjadi dilema pikir beberapa hari dalam perenunganku. Apakah korban adalah orang yang dianggap miskin dan terlihat lebih tersiksa dalam kehidupan bermasyarakat? Atau korban adalah orang yang mendapatkan imbas dari sebuah perbuatan dan perilaku masyarakat?
Saya terus-terusan ingin menyelesaikannya.
Semua berawal dari perjumpaanku dengan seorang budayawan di Karta Pustaka Jogja. Saya mencoba mendapatkan informasi lebih jauh tentang PKL. Harapan besar saya, bakal mendapat informasi tentang sejarah PKL, mulai kapan dan aset-aset apa saja yang ada di masa lampau. Selain itu, saya juga berusaha mencari informasi tentang budaya-budaya yang dibentuk oleh PKL. Budaya dagang yang mereka kembangkan hingga membentuk pola-pola kemasyarakatan dalam PKL.
Lain. Sangat berlawanan. Pertama saya yakin bahwa PKL adalah korban yang bisa memperjuangkan dirinya sendiri sehingga bisa hidup. Pemikiran oportunis merekalah yang menyelamatkan kehidupan mereka. Hebatnya lagi PKL mampu menciptakan budaya dalam kehidupan mereka sendiri. Warung tumbuh, warung sebuyut, siasat dagang serambi kraton dan masih banyak lagi fenomena-fenomena yang membuat kami tertarik dengan PKL. Tetapi saya dibantah. “Tidak. Justru mereka itulah yang membuat kita masyarakat Jogja menjadi korban. Mereka sudah mematikan fungsi-fungsi kultural, agamis, dan filosofis kraton jogja dan menggatikannya dengan fungsi ekonomis yang hanya menguntungkan mereka. Mereka tidak miskin lho Mas, bahkan bisa jadi lebih kaya dari kita.”kata seorang budayawan yang saya temui-wanita dia-.
Wanita itu membuatku menjadi bingung. Hampir saja saya sepakat dengannya bahwa justru yang jadi korban bukanlah PKL tetapi kita. Mereka sudah menghapus setting besar Hamengku Buwono I yang menggarap arsitektur letak dan bentuk Kraton Jogja. Alun-alun utara sangat kental dengan simbol-simbol budaya, agama, dan filosofis. Harusnya kemegahan dan kehebatan arsitek itu mampu menjadi tawaran yang lebih besar daripada hanya menjadi wadah Pedagang Kaki Lima di Jogjakarta. PKL telah menempatkan lapaknya menjadi aset yang dianggapnya lebih berharga dari aset-aset Kraton Jogjakarta.
Wacana tersebut telah memutarbalikan pola pikirku 180 drajat. Perasaan benciku dengan PKL mulai muncul. Saya hampir menganggap mereka sebagai penjahat. Mereka bukan korban. Justru dengan topeng kemiskinan itulah mereka menganggap diri mereka korban dan memanfaatkan status itu untuk dikasihani oleh Sultan dan diperhatikan oleh masyarakat.
Dugaanku mengalir bersama darah dan menekan dalam jantung. Merasuk ke otak. Kepalaku terasa berat benar. “Selesaikan dengan secangkir kopi.”istriku menghibur sejenak.
Aku teguk. Pelan. Sejenak panasnya kopi dan senyuman istriku melupakan aku dengan beban yang aku pikirkan.
“Malam ini aku tidak tidur rumah. Aku ingin mencoba duduk bersama di tanah pedagang Alun-alun Utara.”kataku pada istriku. Dia hanya diam. Dan sedikit tersenyum.
Aku putuskan untuk tak tidur di rumah malam ini. Aku ingin mencoba lebih dekat mengenal Pedagang Kaki Lima.
***
Alun-alun utara. Biasanya aku hanya jalan sepintas melewati tempat itu dan tak menghiraukan apa-apa. Malam ini aku digiring oleh beban pikir untuk mengajakku mengamati lebih detail tentang apa yang ada di sekitar Alun-alun Utara. Pedagang kaki lima.
Aku gayuh sepedaku mengelilingi Alun-alun Utara. Aku lihat lingkungan sekeliling. Satu kata, kumuh. Sangat kumuh. Sebelah timur terlihat pendopo-pendopo tua yang dihiasi dengan centelan-centelan kutang, celana dalam dan pakaian-pakaian para pedagang kaki lima. Terlihat pula, para pedagang mabuk-mabukan dan ada juga yang tidur di dalam pendopo itu. Aku pindah ke sebelah selatan yaitu Kandang Macan. Di situ tercium bau sedikit pesing terlihat sangat tidak nyaman sekali untuk tempat publik berkonsulidasi. Memang, fungsi kultural, agamis, filosofis yang disampaikan budayawan di Karta Pustaka, sudah ditutupi oleh aset-aset pedagang kaki lima yang relatif kotor dan kumuh.
Belum tuntas. Pikiranku mengajak untuk mengamati lebih detail dan memutuskan untuk berbincang sejenak dengan pedagang jagung di depan pendopo tersebut. “Kalau saya tidak tidur di situ kok Mas. Rumah saya di kampung sebelah jadi saya pulang ke rumah. Itu semua para pendatang yang susah diatur. “tutur pedagang jagung itu. Dia tidak mau menyebutkan namanya.
Perbincanganku dengannya mulai mengembalikan pikiranku awal terhadap PKL. Bahwa mereka adalah rakyat kecil yang mencoba mencari penghasilan.
“Susah Mas. Sekarang jauh lebih susah dari pada dulu. Kalau dulu pedagangnya sedikit, gampang diatur dan kita bisa dapat untung yang lebih banyak. Sekarang pedagang sudah tambah banyak, kadang juga susah diatur.”tutur ibu itu.
Muncul pikiran baru dalam benakku. Tidak semua pedagang disitu adalah orang susah, tidak semua pedagang disitu adalah orang yang faham dengan toleransi sosial. Mereka adalah masyarakat, mereka adalah rakyat yang masih butuh pemahaman yang lebih luas.
Ibu itu hanya mengerti konsep bertahan hidup. Pedagang di sana hanya faham bagaimana konsep mempertahankan diri mereka sendiri untuk bisa mendapat keuntungan yang lebih banyak dan bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Mereka tidak pernah peduli dengan makna budaya, makna filosofis, karena kepedulian itu hanya muncul pada kaum intelektual. Bukan karena mereka ingin merusak, tetapi mereka tidak faham atau bagi mereka kepedulian akan aset budaya itu adalah kebutuhan tertier mereka setelah perut. Ini manusiawi.
Pedagang kakilima. Mereka bukan korban sejati. Mereka adalah korban dari kebodohan mereka dan nafsu manusiawi mereka. Mereka juga pelaku yang secara tidak sadar atau secara sadar menjadikan masyarakat dan budayawan menjadi korban. Dan menjadikan aset-aset kraton menjadi hilang makna kultural, filosofis, dan agamisnya. Mereka mengubah dengan fungsi ekonomis yang bisa menghidupi mereka lebih layak.
***
Pikiranku terasa lebih ringan. Aku habiskan satu gelas teh yang aku beli dari pedagang jagung itu. Aku mulai rindu dengan istriku. Pukul 01.00. Kerinduanku membawaku untuk pulang ke rumah.
Aku pulang. Istriku belum tidur. Dia bukakan pintu. Mengantarku masuk ke dalam rumah.
“Siapa korbannya, masih bingung?”tanya istriku sedikit menghibur.
“Antara mataku yang kiri dan kanan mengatakan dua hal yang berbeda.”jawabku.
Istriku hanya tersenyum. Dia seperti sudah faham sebelumnya. eL.P.B

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari kita pererat tali diskusi